Dinamika perpolitikan di Indonesia seolah tiada hentinya. Belum lepas dari ingatan kita, bagaimana hingar bingarnya Pemilihan Presiden 2014 yang cukup menguras waktu, pikiran dan tenaga kita. Pasca pemilihan pun tidak berarti selesai sudah dinamika pesta demokrasi itu, hingga pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pemilu Presiden tahun 2014. Itupun tidak dilakukan dalam sekejap mata, proses panjang yang melelahkan mewarnai jalannya proses persidangan di MK.
Rakyat Indonesia seharusnya sudah tenang dan lega pasca penetapan hasil Pemilu Presiden tersebut, itu yang menjadi harapan kita semua. Akan tetapi dunia perpolitikan Indonesia kembali “terguncang” dengan permainan politik yang diperankan oleh para anggota dewan ataupun elit-elit politik di negeri ini.
Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang saat ini sementara digodok di DPR-RI menjadi polemik yang membumbuhi perjalanan politik Indonesia pasca pilpres. Opsi Pilkada secara langsung dan Pilkada diserahkan ke DPRD menjadi perbincangan hangat, yang melibatkan hampir semua elemen masyarakat. Pro dan kontra terhadap kedua opsi tersebut memunculkan opini yang berbeda-beda pula.
Yang pro dengan Pilkada langsung menganggap bahwa bila pilkada diserahkan ke DPRD untuk menentukan kepala daerah, maka itu sama saja mencederai reformasi dan demokrasi di Indonesia yang susah payah dibangun. Sementara itu, yang pro dengan Pilkada lewat DPRD berpendapat akan menghemat anggaran dibanding dengan Pilkada langsung. Apapun alasan yang melatarbelakangi sehingga mereka berpendapat demikian, itu hak dan kebebasan berpendapat yang melekat pada setiap warga negara, yang pastinya pendapat itu berdasarkan kajian dan sudut pandang masing-masing.
Sekedar merefresh, bahwa bangsa Indonesia sudah pernah melaksanakan Pilkada melalui DPRD, yaitu pada zaman Orde Baru. Pasca rezim Orba, banga ini memasuki zaman Reformasi dengan cita-cita mulianya adalah pelaksanaan demokrasi yang selama ini menjadi “idaman”, dan salah satu penanda pelaksanaan demokrasi adalah ditandai dengan pelaksanaan Pilkada hingga pemilihan presiden secara langsung.
Pilkada yang diserahkan kepada DPRD, secara substansi akan “menghianati” hak berdemokrasi dan kedaulatan rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa anggota dewan/legislatif yang terpilih adalah hasil pilihan rakyat, sehingga dapat dikatakan wakil rakyat. Namun demikian, timbul pertanyaan, apa memang benar mereka mewakili rakyat. Secara penamaan, anggota legislatif bernaung di bawah lembaga yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi sejatinya, mereka para anggota legislatif benar-benar berjalan dan bertindak sesuai aspirasi yang mereka wakili—namanya juga wakil; bukan nafsu politik.
Tapi ternyata dalam perjalanannya dan realita yang terjadi, untuk menjadi anggota legislatif ternyata ada transaksi, rakyat diiming-imingi berbagai janji-janji yang meninabobokkan, terjadi jual beli suara, kampanye hitam dan kampanye negatif. Jangan salahkan rakyat, kita liat secara jernih, mengapa demikian itu terjadi. Apakah kita semua, terutama elit-elit politik sudah melakukan pendidikan politik yang bermartabat dan ideal secara tuntas, apakah partai politik pengusung berani menghukum dan membatalkan mandatnya jika calon yang diusungnya melanggar etika demokrasi, apakah pernah ada partai politik menyuarakan “bila ada calon dari partai” melakukan money politic atau transaksi jual beli suara rakyat, maka akan dibatalkan pencalonannya dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang, apakah pernah ada partai politik melakukan fit and proper test untuk menentukan calon dalam pemilihan legislatif, dan belum lagi hal yang terkait pembayaran ”mahar” ke partai politik.
Para pemangku-pemangku kepentingan politik kadang menuntut hal-hal yang ideal menurut versi mereka, tetapi lupa akan kewajiban yang harus dijalankan sebagai alat demokrasi, maka yang terjadi adalah kepentingan sesaat. Rakyat berharap banyak terhadap anggota dewan, namun kadang yang diterima berbanding terbalik dengan harapan itu. Sehingga sering kita mendengar ungkapan yang cukup menggelikan dari mereka yang diwakili, “Kalau rakyat mau kaya, sudah diwakili oleh anggota dewan. Kalau rakyat mau mobil, sudah diwakili anggota dewan. Kalau rakyat mau rumah, sudah diwakili anggota dewan. Kalau rakyat mau jalan-jalan keluar negeri, sudah diwakili anggota dewan”. Nah, apakah dalam hal Pilkada, rakyat juga rela untuk diwakili, sementara rakyat adalah pemegang kedaulatan dan pemilik sah demokrasi. Aura demokrasi akan hilang, tidak berbanding lurus dengan kehidupan ber-DEMOKRASI yang sering digembar-gemborkan oleh para elit-elit politik dan elit-elit pemerintahan negeri ini.
Sementara itu, Pilkada secara langsung akan memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk memimpin mereka. Selama periode pemberlakuan pemilihan langsung yang kurang lebih sudah berjalan 10 tahun terakhir, telah banyak memberikan pembelajaran buat kita semua. Kalau ada yang mengatakan bahwa pilkada langsung itu butuh anggaran banyak, itu bisa saja benar, tapi yang perlu diketahui juga bahwa untuk membangun negara demokrasi, sangat membutuhkan pengorbanan yang luar biasa dan waktu yang cukup lama. Negara-negara yang dicap sebagai negara demokrasi saat ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun kehidupan berdemokrasi, hingga pada akhirnya rakyatnya bisa menikmati hingga saat ini. Sementara Indonesia, baru 10 tahun terakhir ini menjalani kehidupan berdemokrasi, itupun belum sampai pada titik yang ideal, masih butuh proses panjang untuk membangun kehidupan berdomokrasi yang mapan.
Bukan sistem pemilihannya yang harus diubah, tapi mekanisme dari awal hingga pada saat penentuan pilihan yang perlu dikaji ulang. Mekanisme rekruitmen calon kepala daerah oleh partai politik juga harus diperketat dan diubah (berlakukan fit and proper test), maksimalkan peran partai politik sebagai alat demokrasi (lakukan pendidikan politik yang benar dan beradab), tidak ada lagi istilah membayar mahar bagi calon kepala daerah kepada partai politik yang akan mengusung, partai politik harus berkomitmen untuk menolak segala bentuk money politic (termasuk mencabut mandat calon yang diusungnya bila ketahuan melakukan money politic), dan mekanisme serta masa kampanye juga menjadi hal yang perlu untuk dikaji ulang.
Dalam konteks pilkada yang sudah berjalan selama ini, sebenarnya kita bisa melihat bahwa yang membuat pilkada langsung itu membutuhkan anggaran yang banyak (dilihat dari biaya yang dikeluarkan oleh kandidat kepala daerah), itu karean partai politik yang tidak menjalankan peran sebagaimana mestinya. Idealnya bahwa partai politik harusnya menjadi ujung tombak dalam melakukan pendidikan politik, bagaimana berdemokrasi yang baik, menjadi ujung tombak dalam penolakan berbagai bentuk kecurangan dalam pilkada. Partai politik harusnya menjadi ujung tombak dalam memikirkan dan mengimplementasikan konsep-konsep dalam rangka mensejahterakan rakyat, bukan malah sebaliknya, memelihara dan mensejahterakan individu-individu yang menjadi kader parpol. Intinya bahwa partai politik menjadi tauladan dalam pesta demokrasi.
Biarkan rakyat yang menentukan, karena rakyat adalah pemegang kedaulatan dan pemilik sah demokrasi di negeri ini. Karena status tertinggi itulah, rakyat yang berhak menentukan siapa yang harus mendapat mandat untuk menjadi pemimpin diantara mereka dan siapa yang berhak mendapat mandat untuk menjadi wakil mereka di dewan. Sekedar mengingatkan kembali bahwa Negara Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan sistem pembagian kekuasaan kedalam tiga macam bentuk kekuasaan yang disebut Trias Politika, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang) dan yudikatif (pengawas pelaksanaan undang-undang). Kekuasaan rakyat sangat jelas dalam sistem pembagian kekuasaan ini, rakyat memiliki kekuasaan dalam menentukan siapa saja yang pantas untuk duduk di salah dua dari tiga lembaga tersebut (legislatif dan eksekutif).
Pada akhirnya kembali kepada kita semua untuk memaknai arti sejatinya sebuah demokrasi. Apa yang telah penulis ulas dan gambarkan di atas, adalah sebuah refleksi dari kehidupan demokrasi versi Indonesia yang penulis jalani selama ini, yaitu zaman dimana diberlakukannya Pilkada lewat DPRD (zaman Orde Baru) dan Pilkada oleh rakyat (zaman reformasi) Penulis : Irawan Hasan