Penulis : Zulnaidi, SH--Ketua KPU Padang Pariaman
Ruang publik kita akhir-akhir ini dihebohkan dengan fenomena anggota legislatif yang pindah partai untuk pemilu legislatif tahun 2019. Sebuah fenomena yang tidak lazim dari sisi kajian kepartaian sebagai alat perjuangan idelogis, namun hal biasa jika ditilik dari praktik multi-partai yang berlaku di Indonesia pasca orde baru.
Ia menjadi tidak lazim dari perspektif bahwa “pertarungan” antar partai adalah pertarungan substantif yang berangkat dari nilai-nilai ideologis yang diusung partai yang seharusnya berbeda.
Kita bisa mengamati fenomena dwi-partai ala Amerika yang secara gamblang mempertontonkan pertarungan nilai-nilai atau pendekatan terhadap implementasi nilai-nilai yang saling berhadapan antara partai demokrat dan republik.
Namun akan sulit terjadi di negara multi-partai apabila dengan basis ideologi yang cenderung sama, tidak menerapkan manajemen partai yang demokratis dan konsep partai kader yang tidak kokoh.
Sehingga bisa dipahami bahwa ketika partai gagal menjadi alat perjuangan ideologis, tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi dan belum menerapkan manajemen kader yang kuat dan mendasar maka perpindahan anggota partai (DPR/D) menjelang pemilu akan terus terjadi, Partai akan selalu menjadi alat untuk meraih ambisi pribadi-pribadi opurtunis untuk bisa duduk di legislatif tentu saja dengan kalkulasi pragmatis.
Penguatan Parpol
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi berbasis kepartaian. UUD 1945 mensyaratkan bahwa peserta pemilu adalah Parpol, yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemilu bahwa syarat untuk bisa diajukan sebagai caleg harus anggota (kader) Parpol yang dibuktikan dengan persyaratan kepemilikan dan menyerahkan KTA (kartu tanda anggota) parpol ketika mendaftarkan calegnya ke KPU.
Implementasi demokrasi berbasis kepartaian ini semakin menguat ketika DPR kita berisi fraksi-fraksi yang juga berbasis partai.
Dengan demikian kita bisa melihat alur argumentasi yang gamblang bahwa pada akhirnya kematangan demokrasi sangat bergantung pada kualitas atau eksistensi partai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bukankah partai politik punya peran dalam agregasi aspirasi publik dan menyalurkannya menjadi sebuah kebijakan kenegaraan yang harusnya tunduk pada tujuan negara ini didirikan.
Ada beberapa prasyarat penguatan parpol
Pertama
Penyelenggaraankehidupan kenegaraan mengunci mati dan menyepakati secara konstitusional bahwa Indonesia berideologi Pancasila karena itu menjadi logis bahwa multi-partai yang hari ini diterapkan harus bergerak ke arah penyederhaan partai karena tidak ada basis ideologi yang beragam dan kontras yang bisa menjadi dasar lahirnya banyak partai seperti sekarang ini;
Kedua.
Partai didirikan harus dengan basis dan rumusan ideologis yang jelas sehingga nyata berbeda dengan partai yang lainnya dan memberikan pesan yang jelas kepada publik layaknya sebuah brand dalam ilmu bisnis.
Ketiga.
Partai ideologis harus dibentuk dalam tatanan partai kader sehingga nilai-nilai bisa diajarkan, dijaga dan diterapkan ketika kekuasaan/kepemimpinan bisa diraih.
Keempat.
Sebagai bagian dari entitas demokrasi maka partai harus komitmen dengan prinsip-prinsip demokrasi terutama dalam menjalankan manajemen kepartaian.
Tantang penguatan parpol kita hari ini adalah kita tidak konsisten dengan pilihan ideologis kontitusional yang ada, namun cenderung hanyut dalam arus ideologis praktis yang berkembang dari masa ke masa seperti terma ideologi nasionalis, agama, sosialis dan sebagainya.
Disamping itu trauma orde baru membuat kita membuka kran yang terlalu lebar untuk lahirnya partai-partai baru sehingga lupa untuk menutupnya sehingga terjadi “banjir” partai yang jika ditilik basis ideologisnya sama saja dengan yang sudah ada.
Apakah ini sebuah pilihan dengan orientasi kebangsaan ataukah sekadar pertarungan kekuasaan dengan pertimbangan pragmatisme semata?
Lima prasyarat yang Penulis kemukakan diatas jika tidak diterapkan maka bukan saja kehidupan demokrasi kita yang tidak akan bergerak menuju kualitas yang terus membaik namun secara teknis menyulitkan penyelenggaraan pemilu itu sendiri.
Lihat saja bagaimana mana fenomena personalisasi partai telah melahirkan praktik-praktik tidak demokratis dalam pengisian kepemimpinan dan manajemen partai.
Partai ditentukan oleh siapa yang memimpin bukan ditentukan oleh nilai-nilai internal partai, akibatnya terjadi banyak pemecatan dan pergantian pengurus menjelang pendaftaran partai dan saat pendaftaran caleg yang mengakibatkan partai tidak siap ketika harus berhadapan dengan agenda tahapan pemilu dan yang sering menjadi korban adalah penyelenggara pemilu itu sendiri.
Lemahnya ideologi partai dan miskinnya penerapan konsep partai kader menyebabkan kontestasi pemilu berubah menjadi kontestasi perebutan jabatan dan pekerjaan dengan penghasilan yang menggiurkan.
Bukan hanya publik dirugikan karena partai hanya menyediakan pilihan berupa caleg-caleg miskin konsep namun juga menyebabkan tergerusnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi akibat inkompetensi dan inkonsistensi calon terpilih - jelas ini berimplikasi terhadap demokrasi yang dibangun di negeri ini.
Kematangan Demokrasi
Moh. Hatta menyebutkan bahwa partai adalah alat publik untuk menyampaikan aspirasi. JIka ingin kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik, publik harus diyakinkan bahwa demokrasi yang kita terapkan hari ini bisa dipercaya sebagai alat mencapai kesejahtaraan rakyat.
Kepercayaan yang dibangun dengan cara menerapkan peran parpol dalam menyediakan kader-kader dan program-program yang berkualitas dan praktik-praktik kepemimpinan yang taat hukum dan taat prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan bernegara yang demokratis.
Penyederhanaan jumlah partai dengan basis ideologis (tidak harus dibatasi 2-3 saja) akan berdampak pada kontestasi yang relatif mudah dipahami oleh publik karena ada konsep yang jelas dan pilihan program yang konkrit yang disediakan oleh parpol dalam kontestasi pemilu.
Publik harus diajarkan dan mulai belajar menggunakan pemilihan umum sebagai ikhtiar perbaikan kehidupan masyarakat berdasarkan ukuran rasionalitas bukan lagi primordialitas (SARA).
Dengan kematangan demokrasi via penguatan parpol ini kita berharap tidak ada lagi fenomena “kutu loncat”; perebutan caleg; pemecatan pengurus menjelang pemilu; pembajakan partai dalam pilkada; distrust terhadap lembaga negara dan partai dan; apatisme publik terhadap demokrasi dan pemilu. Semoga!
(tulisan ini pernah dimuat di Harian Padang Ekspres)