"Selama darah masih mengalir di nadinya, kesalahan akan tetap menjadi kesalahan dan tidak menjadi kebenaran".
Itulah kata-kata yang digunakan Pengacara Kondang Alwis Ilyas SH kelahiran Pariaman pada 6 Mai 1964. Ia merupakan sosok yang sangat dikenal di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman, umumnya di Sumatera Barat.
Siapa yang tidak kenal dengan dia, "Di Jakarta ada nama Karni Ilyas yang tampil di TV One melalui program ILC, begitu pun juga di Pariaman ada juga Alwis Ilyas yang sering tampil di sosial media melalui OLC alias Ota Lapau Club"
Dia adalah individu yang suka bergaul. Tidak hanya kalangan pejabat, petani, pedagang, bahkan tukang parkir mengenalinya dengan panggilan akrabnya "Uncu". Karena memang ia anak yang terakhir.
Alwis Ilyas lahir dari keluarga susah dengan 6 bersaudara. Ia sendiri adalah anak terakir dari pasangan Sidi Ilyas dan Siti Bayani. "Saya lahir dari keluarga yang kurang mampu. Punya 5 orang saudara. Saya adalah anak terakir," kata Alwis Ilyas di kantor Advokad nya di Kelurahan Karan Aur, Jumat (18/2).
Uncu Alwis menceritakan perjalanan hidupnya mulai dari pelukis hingga jadi pengacara kondang di Sumbar. "Orang tua saya adalah orang yang relegius. Sewaktu SD, ayah pernah mengatakan pada saya bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang sebelum seseorang itu mau mengubah nasib dirinya sendiri," terangnya.
Beranjak dari pernyataan seorang sosok ayah yang sangat dibanggakannga itu, Alwis yang masih duduk dibangku SD berfikir usaha keras yang akan mengangkat derajat hidup keluarganya.
"Waktu sekolah itu, saya telah berfikir bagaimana cara untuk mengangkat derajat keluarga. Bagaimana cara untuk berusaha terus menerus agar kelak bisa bahagiakan orang tua," ujar Alwis.
Sejak SD sampai SMP saya sangat gemar melukis. Bahkan pernah juara melukis. "Setiap pulang sekolah waktu SD, hampir setiap hari saya melukis. Melihat itu, ayah berkata pada saya, Nak melukis alam itu adalah membaca diri sendiri. Karena alam itu termaksud manusia itu sendiri," kata Alwis menirukan perkataan ayahnya.
Perkataan itu diartikan Alwis sebagai makna untuk membaca diri sendiri. "Lalu ayah berkata, baca diri mu nak. Siapa kita dan hendak kemana kita. Ayah bekerja setiap hari di sawah untuk keberhasilan anak-anak ayah," kata Alwis.
Menurut Alwis, ayahnya adalah sosok yang selalu memberikan wejangan wejangan falsafah. Sedari kecil ia telah diajarkan berdialektika sehingga itu mempercepat perkembangan dirinya baik dalam pergaulan maupun pola pikir.
Dengan seiring waktu berjalan, saat duduk dibangku kelas III SMP intensitas melukis sudah mulai berkurang. Pasalnya, saat itu lebih sering bergaul dengan teman sebaya ataupun mengikuti banyak organisasi.
Saat itu, teman temannya telah berkesimpulan Alwis akan menjadi pengacara. "Teman teman menebak kalau nanti saya akan jadi pengacara. Entah dari mana beranjak pemikiran tersebut. Mungkin dari cara saya berkata kata, entah lah," kata Alwis.
Alwis telah mulai menjalankan karier sebagai pengacara setelah tes pengacara pada tahun 1990. "Sebelum jadi pengacara saya kuliah di fakultas hukum selama 4 setengah tahun. Satu tahun setelah tamat kuliah saya hanya beraktifitas di kampung halaman, ikut dalam ormas maayarakar," sebut Alwis, yang pernah menjabat sebagai Ketua KPU Kota Pariaman.
Setelah itu, kata Alwis lagi, dia menjadi asisten pengacara di Padang. Telah 7 kali ia menjadi asisten pengacara di kota Padang. "Lalu sekitar akhir tahun 1998 saya pindah ke Pariaman. Ingin mengabdikan diri si Pariaman karena saya melihat banyak kasus perdata yang terjadi di Pariaman," sebut Alwis.
"Saya mendapatkan SK Advokat dan Bantuan Hukum itu pada tahun 1997. Saat itu SK dikeluarkan oleh Kementerian Hukum RI. Dari sana saya buat kantor sendiri di Pariaman," jelas Alwis.
Alwis Ilyas juga menuturkan, pada awalnya saat dia memilih untuk menjadi pengacara, tidak satupun keluarganya yang mendukung. "Tidak satupun keluarga yang mendukung. Alasan mereka tidak mendukung lantaran resiko jadi pengacara itu besar," sebut Alwis.
Namun bagi Alwis, jika dia menjadi pengacara paling tidak dia bisa membantu sanak keluarga dalam perkara hukum. "Alhasil, hingga kini tidak hanya soal bantu membantu pihak keluarga sendiri. Saya juga banyak lakukan bantuan hukum pada masyarakat Padang Pariaman dan Kota Pariaman," kata Alwis.
Alwis sendiri memang fokus menjawab soal perdata di wilayah kerjanya. Dia merasa mahir dan telah punya pengalaman yang cukup soal perdata. Tidak menafikan persoalan lainnya yang berkaitan dengan pidana juga pernah ditanganinya.
Kecemasan keluarga Alwis tentang resiko jadi pengacara tidak seperti yang diduga. Selama kariernya Alwis tidak pernah mendapatkan ancaman yang berarti.
"Alhamdulillah, selama ini tidak ada ancaman dari orang lain terkait profesi yang saya jalani. Saya orangnya suka bergaul. Untuk pekerjaan bagi saya adalah soal keadilan. Apa yang menjadi keresahan masyarakat dimana hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah itu tidak saya benarkan," sebut Alwis.
Menurut Alwis, dia menjadi pengacara untuk menjadikan profesinya itu terhormat. "Jika kita menerapkan hukum tebang pilih atau memperjual belikan hukum maka dari situ orang akan membenci kita," ujar Alwis.
Hingga saat ini, keberadaan Alwis ditengah-tengah mansyarakat mendapatkan tempat terhormat. "Sebagimana kita menghormati profesi kita sendiri," ulasnya.
Alwis juga membagikan pengalamannya menjadi pengacara. Baginya pengacara itu tidak hanya soal memahami soal hukum saja namun pengacara itu harus punya mental.
"Untuk itu, menjadi pengacara tidak bisa instan. Perlu jam terbang atau harus punya pengalam impiris sehingga bisa menyampaikan hukum sesuai aturan hukum itu sendiri," kata Alwis.
Begitulah kisah Alwis, anak petani yang menjadi pengacara. Ia juga dikenal karena banyak memberikan bantuan hukum pada masyarakat.
Baginya "Pengacara itu bukan soal kemampuan bersilat lidah, melainkan bagaimana menyampaikan kepastian hukum mengunakan lidah sesuai dengan aturan hukum," tegasnya. (ronal)