Pembuatan Septiktank Bak Biodigester |
Oleh: Reki kardiman, Ph.D., Fitra Arya Dwi Nugraha, S.Si., M.Si., Ridho Bayu Yefterson, S.Pd., M.Pd.
Universitas Negeri Padang
Ketahanan pangan adalah pilar utama yang akan menjamin keberlangsungan suatu negara dimasa depan, dan kita – Indonesia – sebagai negara khatulistiwa dengan potensi alamnya yang super harus mampu mengupayakan dan menguasai ketahanan pangan, dimana dalam segala aspek sangat berpotensi untuk ditingkatkan dan dimajukan.
Praktek pengolahan tanah adalah pondasi dari semua itu, terutama dalam menjaga kesuburan dan ketahanan lahan. Sayangnya, intensifikasi lahan dengan penggunaan bahan kimia sudah menjadi kebiasaan pertanian kita, dan sejak dua dekade belakang sudah sangat tergantung dengan material tersebut.
Para ahli telah menelaah dengan teliti bahwa pola intensifikasi tersebut berdampak buruk terhadap tanah dan lingkungan, dan membutuhkan puluhan tahun untuk pemulihan. Kembali ke organik adalah solusi yang tepat untuk ketahanan pertanian jangka panjang, tetapi penggunaan bahan organik secara langsung khususnya bahan organik kotoran ternak juga dapat menyebabkan kematian tanaman, untuk itu bahan mentah tersebut harus terlebih dahulu melalui proses fermentasi, pendinginan dan atau dibakar.
Proses fermentasi yang lama dan membutuhkan tenaga sering menjadi kendala bagi petani atau peternak, sehingga produk organik dari kotoran ternak jarang sekali berkelanjutan. Oleh karena itu, pembuatan pupuk organik harus dilakukan sesederhana dan semudah mungkin, hasilnya dapat diperoleh petani dengan mudah dan harga yang lebih murah.
Selain itu, kotoran ternak memang harus menjadi perhatian khusus karena dampak negatifnya pada lingkungan, dimana gas amoniak yang dihasilkannya telah terdeteksi menyumbangkan emisi pada atmosfer bumi dan akan berujung pada naiknya suhu bumi, kondisi ini sudah menjadi perhatian dunia internasional.
Biodigester adalah salah satu solusi yang tepat untuk menyelesai dua persoalan tersebut, sebenarnya biodigester adalah alat untuk mengolah limbah organik menjadi gas – disebut juga dengan istilah biogas -, tetapi ampas dari biogas adalah pupuk organik berupa slurry yang berkualitas sangat baik dan bahkan padatannya bisa kembali dijadikan pakan ternak. Slurry disebut juga dengan lumpur kotoran ternak, karena merupakan perpaduan antara kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1 : 1.
Kotoran sapi adalah limbah organik yang paling umum dipakai untuk pupuk organik, dikarenakan banyaknya masyarakat yang beternak sapi, angka produksi harian yang tinggi dan juga bagus untuk produksi biogas karena rasio kadar C/N nya yang tinggi dan nyala api yang lebih lama. Mengaplikasikan digester biogas sebagai alat fermentasi kotoran sapi akan menghasilkan dua manfaat ekonomi, yaitu biogas dan limbah biogas berupa pupuk slurry kotoran sapi.
Potensi ekonomi dari biogas dan slurry tergantung kepada jumlah kotoran sapi yang tersedia. Hitungan matematisnya adalah bahwa satu ekor sapi mampu menghasilkan 15 kg kotoran/hari, dan per tiap 1 kg kotoran menghasil 0.0315 m3 biogas, maka satu ekor sapi akan memproduksi 0.5 m3 biogas/hari.
Jika dikonversi kedalam takaran gas LPG 3 kg, dimana 1 m3 biogas sebanding dengan 0.46 kg elpiji, maka untuk mengisi satu tabung gas 3 kg dibutuhkan 6.5 m3 biogas, bisa diperoleh dari 13 ekor sapi. Bagi pertanian, biogas tentu tidak terhubung secara langsung, tetapi apa yang tersisa setelah gasnya lepas adalah produk limbah yang sangat bagus untuk lahan pertanian.
Oleh karena itu, dengan dua luaran produk tersebut, digester sangat perlu dikembangkan. Kegiatan ini adalah upaya-upaya kecil yang harus dilakukan untuk kemandirian energi dan untuk usaha pertanian berkelanjutan.
Universitas Negeri Padang, melalui program kemitraan masyarakatnya melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah membangun sebuah digester pengolah limbah kotoran sapi di Peternakan sapi SEHATTI, bekerjasama dengan kelompok tani peternak setempat.
Biodigester ini berbentuk tabung dan tutup seperti kubah, atau yang dikenal juga dengan digester tipe kubah tetap, 250 cm diameter dan 200 cm tinggi, sehingga memiliki kapasitas sekitar 9.8 m3. Digester ini terdiri dari lima bagian yaitu berupa bak reaktor (tabung besar yang berkapasitas 9.8 m3, tutup kubah tetap sebagai penampung gas tinggi dengan diameter 2.5 m dan tinggi 1 m, saluran masuk material mentah dan saluran keluar slurry, bak pengaduk material mentah, kemudian bak penampung slurry.
Proses kerjanya sangat sederhana yaitu dengan mencapurkan kotoran ternak dengan air perbanding 1 : 1 didalam bak pengaduk, kemudian bila perlu ditambahkan sedikit bakteri pengurai, hasil adukan tersebut masuk ke saluran inlet menuju bak reaktor. Jika bak reaktor diisi penuh dengan sekali pengisian, maka dapat menampung 4.9 ton kotoran sapi dan 4.9 kubik air.
Biogas akan terbentuk setelah 20 hari, dan bisa dimanfaatkan langsung untuk kebutuhan peternakan atau disimpan. Setelah gasnya habis, maka bahan yang baru bisa langsung dimasukkan dan secara otomatis akan mendorong bahan yang lama untuk keluar melalui saluran outlet menuju bak penampung, sistem kerja otomatis ini dikenal juga dengan model continuous feeding.
Sehubungan dengan produksi kotoran ternak yang terus menerus setiap hari, maka kotoran harus dimasukkan ke biodigester setiap hari, dan dengan kapasitas 9.8 m3 maka hanya mampu menampung kotoran sebanyak 250 kg kotoran yang sudah bercampur dengan 250 liter air setiap hari. Bahan yang masuk pertama akan menghasilkan gas pada hari ke 20, hari ke 21 untuk bahan yang masuk pada hari kedua, begitu seterusnya tanpa henti.
Ketika 250 kg kotoran dan 250 liter air dimasukkan melalui inlet, maka setiap hari akan menghasilkan sekitar 7.88 m3, lebih dari cukup untuk mengisi 1 tabung LPG 3 kg, dan juga menghasilkan 500 kg slurry yang akan keluar melalui outlet ke bak penampung, proses tersebut akan berlangsung terus menerus selama bahan baku tersedia.
Slurry bisa diaplikasikan langsung kelahan pertanian, dengan produksi 500 kg slurry perhari, maka dapat dibayangkan berapa jumlah lahan pertanian organik yang bisa dikelola, terutama lahan pertanian disekitar area produksi slurry.
Biodigester bukanlah teknologi yang baru, tetapi masih sangat perlu untuk dikembangkan, dan dengan proses kerjanya yang relatif mudah, teknologi ini bisa diadopsi oleh peternakan-peternakan hewan, baik secara mandiri maupun melalui kerjsama dengan pihak lain atau melalui bantuan program pemerintah.
Kegiatan ini sifatnya hanya sebagai penyebarluasan dari prakter-praktek biodigester yang sudah ada dibeberapa daerah di Indonesia, diharapkan teknologi ini bisa lebih berkembang dibanyak tempat untuk menyokong program ketahanan energi dan pangan dimasa depan (*)