Jalan Terjal Keterwakilan Politik Perempuan Pasca PKPU 10/2023
Oleh
Tanty Herida
Presedium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
ReportaseSumbar - Merespon kesimpulan rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Kementrian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum RI, Badan Pengawasan Pemilihan Umum RI, dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu RI pada hari Rabu, (17/5) tentang revisi PKPU No. 10 Tahun 2023, Pasal 8 ayat (2) huruf a, yang ditolak oleh Komisi II DPR RI.
"Kami menemukan fakta bahwa DPR RI terutama komisi II dan penyelenggara Pemilu (KPU dan BAWASLU) tidak mempunyai komitmen solid melaksanakan kewajiban hukum sesuai sumpah jabatannya untuk mengimplementasi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam UUD dan UU No.7 Tahun 2017," ungkap Tanti Herida Presedium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia.
Bahwa PKPU No. 10 Tahun 2023 tidak hanya bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017, namun juga tidak memberi kepastian terhadap pelaksanaan zipper system sebagai mana diatur dalam ketentuan Pasal 246 (2) UU No. 7 Tahun 2017 dan penjelasannya yang menyebutkan Di dalam setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat paling sedikit 1 (satu) orang perempuan.
Selanjutnya penjelasan pasal a quo menegaskan dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6 dan seterusnya.
Pembaruan UU No.7 Tahun 2017 yang memastikan penempatan calon perempuan pada nomor urut kecil merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUUXI/2013. Peraturan KPU 10 Tahun 2023 hanya mengadopsi ketentuan Pasal 246 ayat (2) UU No 7 Tahun 2017.
KPU sebagai pelaksana UU mengabaikan ketentuan penjelasan Pasal 246 (2) UU No. 7 Tahun 2017 sehingga menimbulkan kerugian bagi bakal calon perempuan yang telah diafirmasi hak politiknya oleh UUD NRI, Putusan MK No.20/PUU-XI/2013 dan UU Pemilu. Demikian pula instrumen teknis sistem informasi pencalonan (SILON) juga tidak mendukung partai politik untuk menempatkan perempuan pada nomor urut kecil.
Sebagai ilustrasi pada Pemilu 2014 dan 2019, apabila partai mengusung 9 orang bakal caleg, maka minimal caleg perempuan yang harus diajukan partai adalah sebanyak 3 orang.
KPU mengatur dalam PKPU 7/2013 dan PKPU 20/2018, dalam hal perempuan caleg ditempatkan pada nomor urut kecil (misalnya 1, 3, dan 4), maka KPU membolehkan apabila pada nomor urut 7, 8, dan 9 tidak terdapat perempuan caleg karena sudah mendapatkan afirmasi ditempatkan pada nomor urut kecil sesuai ketentuan Penjelasan Pasal 246 UU 7/2017.
Namun, amat disayangkan PKPU No. 10 Tahun 2023 dan SILON yang digunakan KPU saat ini untuk Pemilu 2024 melarang penerapan afirmasi penempatan nomor urut sebagaimana praktik Pemilu 2014 dan 2019. PKPU 10/2023 dan SILON akan menolak pengajuan bakal caleg yang diajukan sebagaimana ilustrasi di atas.
Sebaliknya, SILON hanya akan menerima pengajuan daftar caleg ansich setiap 3 caleg memuat paling sedikit 1 perempuan caleg dan menolak menerapkan afirmasi penempatan perempuan pada nomor urut kecil sebagaimana penerapan pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu ini merupakan kemunduran afirmasi sebagai upaya untuk mendorong kesetaraan bagi perempuan dalam politik. Kemunduran ini justru dilakukan oleh KPU dan direstui DPR RI dalam mengeluarkan berbagai peraturan KPU.
Mulai dari dihapuskannya syarat keterwakilan perempuan minimal 30% dalam kepengurusan partai politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota lewat PKPU 4/2022, dihapuskannya kebijakan afirmasi dalam tahapan seleksi KPU di tingkat provinsi dan kabupaten/kota lewat PKPU 4/2023, dan hari ini kemunduran itu ditunjukkan lewat PKPU 10/2023 terkait kuota pencalonan anggota legislatif.
Jaringan Peduli Keterwakilan Perempuan Propinsi Sumatera Barat mencatat Bahwa komisioner KPU RI saat ini sebagai organisasi penyelenggara pemilu yang tidak mampu menterjemahkan undang - undang pemilu yang adil gender dan inklusi.
Jaringan Peduli Keterwakilan Perempuan Sumatera Barat melihat adanya kemunduran pengaturan afirmasi di dalam PKPU yang saat ini berlaku.
Ketidakberpihakan KPU kemudian berlanjut pada PKPU 10/2023 sebagai dasar dalam pencalonan anggota legislatif. Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota menyebutkan bahwa jika penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dua tempat desimal di belakang koma bernilai : a. kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Artinya, aturan ini memungkinkan pencalonan anggota legislatif oleh partai politik berada di bawah 30 persen ketika dilakukan pembulatan ke bawah. Padahal dalam draft yang diuji publik pada tanggal 8 Maret 2023, memuat ketentuan pembulatan ke atas, tidak mengatur perihal pembulatan ke bawah.
Ketentuan pembulatan ke bawah akan berdampak terhadap tidak terpenuhinya kuota minimal pencalonan 30 persen perempuan sebagaimana perintah Pasal 245 UU 7/2017 tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa Daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Bukan hanya kemunduran afirmasi keterwakilan politik perempuan, ketentuan ini bahkan melanggar UU 7/2017 yang secara eksplisit sudah menegaskan mengenai keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pencalonan anggota legislatif.
Hal ini menunjukkan bagaimana mekanisme proses penyusunan regulasi yang tidak memperhatikan masukan publik. Padahal telah terdapat banyak masukan dan rekomendasi yang disampaikan oleh akademisi, lembaga kajian kampus dan organisasi masyarakat sipil untuk Peraturan KPU yang lebih affirmatif.
Kemunduran pengaturan afirmasi dalam regulasi kepengurusan/seleksi KPU Daerah dan Pencalonan anggota legislatif jelas sudah berdampak pada menurunnya jumlah keterwakilan politik perempuan dalam pemilu.
Potensi kemunduran jumlah keterwakilan politik perempuan ini tentunya juga semakin kuat dengan adanya ketentuan baru mengenai pencalonan anggota legislatif perempuan. Jika aturan ini diterapkan, maka jumlah keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif tidak akan mencapai 30 persen.
Dengan ditolaknya revisi PKPU No.10/2023 ini berdampak pada perlindungan hak politik perempuan untuk berpartisitasi sebagai calon anggota DPR dan DPRD dan memperkecil keterwakilan perempuan di legislative di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Jaringan Peduli Keterwakilan Perempuan Sumatera Barat menyatakan sikap:
Penyelenggara pemilu baik itu KPU maupun BAWASLU harus menjamin partisipasi politik perempuan melalui adanya kesetaraan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik;
Kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan merupakan bagian dari perjuangan kesetaraan gender dan upaya mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang inklusif di Indonesia.
Karenanya harus tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat sehingga Indonesia dapat mencapai kondisi yang setara antara laki-laki dan perempuan;
DPR RI terutama pada Komisi II untuk membatalkan rekomendasi rapat pada tanggal 17 Mai 2023 yang isinya meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) untuk tetap konsisten melaksanakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota, terutama pada ketentuan pembulatan ke bawah (dua tempat desimal di belakang koma) dan mengembalikannya pada ketentuan pembulatan ke atas sesuai dengan ketentuan yang telah ada sebelumnya;
Ketentuan Pasal 8 dalam Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 merupakan ancaman terhadap penurunan jumlah representasi kursi perempuan di DPR/DPRD;
Mendesak KPU melakukan perbaikan terhadap SILON dan memberi akses kepada Bawaslu untuk melakukan pengawasan seluruh dokumen pencalonan dan syarat calon pada system informasi pencalonan;
Mendesak Bawaslu mengoptimalkan fungsi pengawasan terhadap KPU, DPR dan Pemerintah untuk tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan afirmasi dan pemenuhan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD; dan
Mendesak Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memastikan KPU dan Bawaslu taat peraturan perundangan – undangan yang menjamin keterwakilan perempuan UU pemilu nomor 7 tahun 2017 dengan tidak menerbitkan PKPU yang bertentangan dengan aturan diatasnya.
Demikian agar menjadi perhatian seluruh elemen masyarakat tentang pentingnya dukungan penyelenggara pemilu, DPR dan pemerintah untuk mewujudkan ruang yang kondusif dan tidak diskriminatif bagi partisipasi perempuan dalam sistem politik demokrasi yang dijamin dalam konstitusi dan UU Pemilu. (nal)