Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Prof dr Azamris Petarung Tangguh dalam Kehidupan dan Pengabdian

Selasa, 26 November 2024 | 08:29 WIB Last Updated 2024-11-26T01:29:42Z
Azamris



WIZTIAN YOETRI 

Wartawan Senior 


“Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan," ujar Sutan Sjahrir (1909-1966). Ungkapan aktivis pergerakan kelahiran Padang Panjang ini, tepat agaknya untuk mengungkapkan kembali, mencari inspirasi dari tokoh-tokoh yang memiliki jejak rekam untuk dipelajari. Salah satunya, Prof. dr. Azamris.  


Meski biografinya di tulis tahun 2022, namun rekam jejaknya senantiasa menarik untuk dibaca. Dialah, Prof dr Azamris Ahmad, Sp.B (K) Onk, dokter spesialis bedah tumor dan kanker,  seorang role model, dosen yang berhasil dalam meniti karir mencapai gelar akademis tertinggi sebagai Profesor.


Pensiun dari Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan RS M Djamil Padang, Azamris kini tak lagi di Padang, dia memilih dengan melanjutkan pengabdian   sekaligus berbagi ilmu di Provinsi Riau. Mengajar PPDS Bedah di FK Unri, menjadi dokter bedah Onkologi di Rumah Sakit Arifin Ahmad, dengan tetap mengabdi dalam tugas utama di Rumah Sakit Aulia Hospital Pekanbaru.


Sebuah karya gemilang Azamris, yang tercatat di Universitas Andalas, ketika memprakarsai pendirian Center Onkologi dibagian bedah Fakultas Kedokteran dan RS M Djamil; inilah lembaga yang dirintisnya untuk menyiapkan kader-kader muda di bidang Onkologi. 


Prof dr Azamris, SpB (K) Onk, mantan Guru Besar Universitas Andalas ini, lahir di Payakumbuh, 5 Januari 1951 dari Ayah yang bernama Ahmad dan ibu Nurani. Azamris menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Dasar hingga SMA, di Kota gelamai Payakumbuh.


Selanjutnya  Azamris melanjutkan study ke Fakultas Kedokteran Unand yang ditamatkannya tahun 1980, sementara untuk Spesialis Bedah juga di FK Unand, selesai tahun 1991. Sedangkan untuk mengambil Spesialis Bedah Tumor/Kanker, Zamris  melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan  Alhamdulillah berhasil diselesaikan  tahun 1997 di Jakarta.


Dalam biografi, yang ditulis langsung isteri tercinta Profesor Azamris, Aida Febriani, terlukis dengan jelas, proses perjalanan kehidupan Azamris sebagai petarung tangguh dalam kehidupan dan pengabdian kepada masyarakat, juga di tempat lembaga ia bertugas sehari-hari. Aida yang memiliki hobby menulis itu, begitu lugas dan gamblang menceritakan kilas balik,  babak-babak kehidupan yang dilewati Azamris dalam buku Biografi setebal 176 halaman yang disunting oleh budayawan terkemuka Sumbar Yusrizal KW.


Misalnya, ketika Azamris bercita-cita selepas SMA ingin masuk Akademi Angkatan Udara di Bandung, setelah melalui berbagai tahapan tes, dinyatakan lulus. Hati Azamris senang bukan main. Langsung ia berkabar kepada emak di kampung. Namun Amak menangis sejadi-jadinya. Amak tidak mengizinkan Azamris melanjutkan pendidikan di Akademi Angkatan Udara dengan alasan;nanti engkau pergi jauh ke luar negeri, pesawatnya jatuh, tidak bertemu lagi dengan Amak.


Dengan gigit jari Azamris harus mengubur impiannya jauh-jauh. Amak, bagi Azamris adalah segalanya. Ridha Amak (Ibu) adalah Ridha Allah. Itulah prinsip yang tertanam dari kecil. Amak hanya mengizinkan untuk sekolah di kedokteran saja.


Karena posisi sudah di Pulau Jawa, Azamris pun tes di Universitas Indonesia, untuk bidang study kedokteran dan teknik, dan lulus keduanya. Sesuai keinginan Amak, yang ingin anaknya jadi dokter, Azamris memutuskan mengambil kedokteran saja.


Setelah kembali berkabar berita gembira telah lulus di kedokteran UI kepada Amak, ternyata Amak berubah fikiran. Tidak mengizinkan Azamris berkuliah di negeri orang. "Pulanglah,nak Amak tidak kuat berpisah..Berat bagi Amak, nanti kamu menikah dengan orang di seberang sana,  lupa kepada Amak," ujar Amak lirih.


Azamris lalu mengubur dalam - dalam impiannya jadi perwira Angkatan Udara, dan Mahasiswa Kedokteran UI. Balik ke Padang, ikut tes di Fakultas Kedokteran Unand, dan Alhamdulillah lulus. Dan, beruntungnya Azamris masuk rangking lima besar.


Maka mulailah awal babak baru kehidupan mahasiswa dari masa perpeloncoan sampai akhirnya memutuskan dimana akan menetap tinggal untuk kuliah di Padang. Kebetulan, suami kakak Azamris, Yunihar bernama Ismail Karim seorang dosen di IAIN Imam Bonjol diamanahkan jadi Ketua Asrama Yatim PGAI, lokasinya persis di depan RS M Djamil, di asrama inilah Azamris menumpang, dan Amak diboyong ke Padang. Azamris sekaligus merangkap jadi pengasuh dan pengawas anak-anak panti, sedangkan Amak mengabdikan diri, dengan tugas memasak untuk anak-anak panti.


Ternyata, setelah masuk kuliah, baru terasa betapa susahnya mendapatkan tambahan biaya, karena kuliah di kedokteran memang mahal. Disaat kewalahan soal keuangan itulah, muncul penyelamat, seorang teman baik Azamris, namanya Ferdinal Rahim. Dia berkuliah di Fakultas Peternakan Unand. Ferdinal mengusulkan agar Azamris membuat kandang ayam petelur di belakang asrama PGAI. Modal membeli bibit ayam serta makanan ayam, Ferdinal yang menalangi. Azamris pun mencicilnya setelah ternak ayam menghasilkan.


Azamris selalu terkenang, sampai sekarang, bagaimana memikul karung pakan ternak sendirian, dari kampus Peternakan di Air Tawar, menuju asrama PGAI di Jati. Kadang naik sepeda, kadangkala dibawa naik oplet.


Memasuki kuliah tahun ketiga, Azamris mulai keteteran, dan ayam pun tak sanggup lagi diurus. Akhirnya semua ayam dibawa pulang ke Payakumbuh, Amak pun ikut pulang, agar bisa mengurus ayam-ayam di sana.


Azamris pun pindah dari asrama, dan kos di Sawahan, belakang apotik Jaya bergabung dengan mahasiswa dari fakultas lain. Kebanyakan berasal dari Koto Anau, Solok.Lagi-lagi Azamris bisa makan makanan bergizi, karena orang tua teman satu kos ada yang jualan daging di Pasar Raya. Setiap kali mahasiswa itu benar-benar makan enak, tentu saja karena Azamris pintar memasak.


Lalu, masuklah Azamris ke babak yang cukup tragis dan menguras pikiran; bagaimana menyikapi buku pegangan untuk belajar, mau dibeli tak ada uang, mau pinjam di perpustakaan, sangat terbatas.


Ibarat gayung bersambut, ada sahabat Azamris satu angkatan bernama Jamal, asal Pranap, Indragiri Hulu, Riau mengajak untuk kost bareng di Jalan Perak Padang. Jamal, yang anak orang kaya punya fasilitas lengkap, punya buku pegangan sangat lengkap. Disini cara belajar Azamris sangat unik. Bila, Jamal selesai membaca bukunya dan sudah tidur, dengan persetujuan Jamal, membolehkan Azamris untuk meminjam  bukunya untuk dibaca Azamris. Artinya, inilah cara  Azamris belajar gratis, tanpa membeli buku, tapi harus menunggu dulu,  Jamal "lalok" (tertidur). Azamris pun mencatat yang penting-penting. Dan, itu dilakoni Azamris sampai menamatkan study di Fakultas Kedokteran Unand.


Dulu, di era Presiden Soeharto, dokter yang baru tamat kuliah langsung diangkat jadi PNS. Bahkan, bagi yang memilih daerah terpencil, akan diberi hak penuh untuk melanjutkan kuliah spesialis tanpa tes. Maka, Azamris pun, mengambil kesempatan itu. Azamris mengambil daerah sangat terpencil,Pulau Sikakap, Kecamatan Pagai Utara Selatan, Kepulauan Mentawai. Tak terpikirkan bagaimana nanti di Sikakap, yang penting dengan satu tekad melanjutkan pendidikan spesialis.


Namun, sebelum ke Mentawai, Azamris memanfaatkan waktu jeda, melamar ke Pertamina dengan job jadi dokter Offshore, tambang minyak lepas pantai dan onshore, tambang minyak di darat. Onshore adanya di Pulau Kalimantan. Maka, Azamris pun berpetualang jadi dokter dengan tugas mengobati pekerja tambang minyak dari satu rig ke rig lainnya diseputaran Utara Pulau Jawa. Adakalanya dari sana langsung ke Kepulauan Natuna. Bahkan, sampai ke Kalimantan dan Irian Jaya. Rig adalah tempat ahli tambang dan pekerja menambang minyak di lepas pantai.


Berbeda ketika bertugas sebagai dokter Pertamina, naik turun pesawat dan helikopter, bertugas di Sikakap, Azamris diberi Speed Boat kayu yang digunakan untuk mengobat pasien di desa-desa, dengan menembus ganasnya gelombang Samudera Hindia. Sering Azamris mengalami kecelakaan sewaktu kunjungan lapangan. Pernah terjadi ketika menuju Desa Matobek, karena kuatnya gelombang speed boat terbalik, untung saja kejadian masih di seputaran pulau.


Demikianlah sepenggal, kisah, perjalanan, dan rekam jejak,seorang Prof dr Azamris, dari banyak catatan heroik, yang bisa dibaca selengkapnya dalam biografinya. Biografi yang disebut oleh Dekan FDOK Unand, Dr dr Afriwardi, SH, SpKO, MA menggambarkan perjalanan hidup seseorang mencapai puncak kariernya. Sementara Dekan FDOK Unri, dr Arfianti, M abiomed, Msc, PhD menyebut kehadiran Azamris, sebagai asset sangat berharga dalam mendukung FK Unri, menjadi pusat pendidikan dan penelitian kedokteran yang unggul baik pada tingkat nasional maupun internasional. Perjalanan seorang dosen dalam mencapai gelar akademik tertinggi yaitu guru besar pastinya tidak mudah, ungkap Arfianti dalam sambutannya pada buku biografi Azamris.


Sedangkan, mantan mahasiswa Azamris, dr Haji Sunaryo, menyebut Azamris seorang yang cerdas dan tulus dalam memberikan bimbingan. Ini pengalaman sewaktu Co As, dan sesuatu yang tak bisa dilupakan, ujar anggota DPRD Riau, dan Ketua IKA Unand Riau itu, sekaligus menyambut dengan senang hati kehadiran Profesor Azamris di Provinsi Riau.


Bersama, sang isteri Aida Febriani, Prof dr Azamris, SpB (K) Onk, dianugerahi empat orang anak; dr Abdul Robby Azhadi, MARS, dr Amanda Priska Diananti Sp, dr Rizki Abdillah dan M Fikri Utama, SS.


Azamris, Petarung Tangguh dalam Kehidupan dan Pengabdian, adalah sebuah biografi, sosok role model,  yang menapak dari bawah, sebuah  pencapaian gelar tertinggi dalam bidang akademis.**

×
Berita Terbaru Update